“SUARA YANG MEMBEBASKAN: MEMAHAMI KEKERASAN BERBASIS GENDER MELALUI BERCERITA BAGI ANAK TUNANETRA DI SLBN CITEUREUP CIMAHI”

“Suara yang Membebaskan: Memahami Kekerasan Berbasis Gender Melalui Bercerita bagi Anak Tunanetra di SLBN Citeureup Cimahi”

Nama Penyusun          :

Fairuz Hasna Afnia

Lutviawati Nur Sabika Amani

Nur Baeti Fadilah

Rahmawaty Julia Arayana

Rifdah Hafizhah

Instansi            : Universitas Pendidikan Indonesia

 

Kekerasan berbasis gender merupakan masalah global yang mempengaruhi berbagai kelompok masyarakat, termasuk mereka yang memiliki disabilitas. Tunanetra, atau individu yang mengalami gangguan penglihatan, sering kali menghadapi bentuk kekerasan berbasis gender yang unik dan berlapis, mengingat kerentanan tambahan yang mereka miliki. Artikel ini akan membahas mengenai salah satu aspek kekerasan berbasis gender terhadap tunanetra, tantangan yang mereka hadapi, serta solusi yang dapat diupayakan untuk mengatasi masalah ini melalui bercerita.

Bentuk Kekerasan Berbasis Gender terhadap Tunanetra

Kekerasan berbasis gender terhadap tunanetra dapat muncul dalam berbagai bentuk, di antaranya:

1.      Kekerasan Fisik: Tunanetra mungkin mengalami kekerasan fisik dalam hubungan rumah tangga atau oleh orang-orang yang mengeksploitasi kerentanan mereka. Karena keterbatasan penglihatan, mereka sering kali tidak dapat melindungi diri atau melarikan diri dari situasi berbahaya.

2.      Kekerasan Seksual: Kekerasan seksual merupakan bentuk kekerasan berbasis gender yang sangat serius. Tunanetra mungkin menjadi sasaran pelecehan seksual atau pemerkosaan karena pelaku menganggap mereka sebagai target yang mudah dan tidak akan mampu melaporkan atau mengidentifikasi pelaku.

3.      Kekerasan Psikologis: Kekerasan psikologis dapat berupa pelecehan verbal, penghinaan, atau manipulasi yang bertujuan untuk merusak harga diri dan kepercayaan diri korban. Tunanetra sering kali diisolasi dari dukungan sosial, membuat mereka lebih rentan terhadap kontrol dan intimidasi.

4.      Kekerasan Ekonomi: Kekerasan ekonomi terjadi ketika pelaku mengontrol akses tunanetra terhadap sumber daya finansial. Ini bisa meliputi pengelolaan uang korban tanpa izin atau mencegah korban bekerja dan mendapatkan penghasilan.

5.      Kekerasan Digital: Di era digital, kekerasan berbasis gender juga dapat terjadi secara online. Tunanetra mungkin mengalami pelecehan melalui media sosial atau platform digital lainnya, di mana pelaku memanfaatkan teknologi untuk mengintimidasi atau mempermalukan mereka.

Tidak sedikit dari beberapa anak mengalami kekerasan di atas namun anak tidak mampu bercerita baik kepada orang tua, guru maupun teman sebaya. Banyak faktor yang menjadi penyebab anak  tidak mampu bercerita salah satunya dikarenakan rasa rendah diri, malu, atau takut untuk bercerita. Dari temuan penelitian kelompok A2 Pendidikan Khusus menemukan anak yang belum mampu menghindari kekerasan fisik yang dilakukan oleh orang lain serta anak belum mampu mengatasi dan mengambil sikap saat mengambil sikap saat mendapatkan kekerasan psikologi. Oleh karena itu, kelompok tergerak untuk memberikan pemahaman melalui program khusus terhadap anak dengan topik “Menceritakan kembali apa yang dialami dan akibat-akibatnya dari berbagai bentuk kekerasan”

Program ini diharapkan dapat membuat anak dapat mampu bercerita terhadap lingkungannya seperti orang tua, guru dan teman serta dapat membantu anak untuk pulih dan dapat melanjutkan hidupnya. Pada pelaksanaan program dilakukan melalui berbagai kegiatan serta media. Melalui pendekatan video interaktif dalam penyampaian informasi dapat membantu anak dalam memahami materi mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan jika mengalami kekerasan seksual dengan baik. Selain itu, melalui kegiatan story telling, analisis artikel serta bermain kartu “ngobrol yuk! ; Edisi kekerasan berbasis Gender” untuk anak dengan hambatan penglihatan dapat membuat anak dapat merasa lebih terpatik untuk bercerita terhadap lingkungan terdekat yang anak rasa nyaman dan dapat dipercaya.

Anak tunanetra low vision berinisial “T” yang bersekolah di SLB Negeri Citeureup Kota Cimahi, melakukan pembelajaran selama kegiatan pembelajaran anak mampu menceritakan kembali apa yang dialami dan akibat-akibatnya, langkah-langkah yang dilakukan saat menjadi korban dan anak mamp mengalisis sikap berdasarkan masalah kekerasan berbasis gender.

Melalui program ini dapat membantu anak tunanetra dapat mengembangkan anak agar mampu bercerita jika mengalami kekerasan dan anak dapat meningkatkan kepercayaan diri yang mereka butuhkan untuk melindungi diri dan hidup mandiri.

Menceritakan kembali pengalaman dan akibat kekerasan pada anak tunanetra adalah langkah penting dalam membangun kesadaran dan tindakan untuk melindungi mereka. Guru dan orang tua memegang peran kunci dalam mencegah kekerasan dan menciptakan lingkungan yang aman dan peduli bagi semua siswa, termasuk anak-anak tunanetra. Dengan upaya bersama, kita dapat menciptakan masa depan di mana setiap anak dapat tumbuh dan berkembang tanpa rasa takut akan kekerasan.

 

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *